Rabu, 14 April 2010

berzina dengan istri sendiri

mingkin banyak yang berkata kenapa bisa gitu saat membaca judul artikel ini...,

ya., pada hakikatnya, seorang istri seharusnya halal untuk digauli.,
sebanarnya banyak hal yang dapat menyebabkan seorang suami bisa berzina dengan istrinya.,
disini saya menyebut suami dan istri karena sebelumnya telah menikah, dan pernikahan yang dijalanipun syah baik secara syari'at agama maupun pengesahan dari pemerintah. baiklah saudara-saudaraku, sekarang saya ingin menyampaikan sekiranya kenapa seorang suami bisa berzina dengan istrinya sendiri..hal ini tentu saja ditinjau dari apa yang sudah terjadi dalam rumah tangga itu sendiri. disini yang paling berperan adalah sang suami., apa dia pernah baik secara sengaja ataupun tidak, telah mengucapkan kata TALAK( tidak harus dengan lafadz semacam itu), selanjutnya mari kita terjemahkan sama-sama
.
Sebelumnya tidaklah salah kita tahu apa arti talak itu sendiri. Yang dimaksud dengan talak adalah pemutusan tali perkawinan. Talak merupakan sesuatu yang disyar’iatkan. Dan yang menjadi dasarnya adalah Al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’. talak sendiri merupakan suatu perkara yang halal, artinya boleh dilakukan, akan tetapi, talak sangat tidak disukai oleh Allah SWT.
talak bisa diklasifikasikan dalam 4 jenis...,

1. Talak dilihat dari Segi Lafadz
Talak ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi talak sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran).
Talak sharih ialah talak yang dipahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, ”Engkau telah tertalak dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh thalaq.
Dengan demikian, jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195). Sehingga saat seorang suami telah qoul semacam itu, haramlah baginya untuk menggauli istrinya sebelum merujuknya.
Talak kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya ”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, atau mengusirnya dari rumah dan semisalnya.
Dengan pernyataan talak di atas maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka tidak terjadi talak.
Dari Aisyah r.a. berkata, Tatkala puteri al-Jaun menikah dengan Rasulullah saw. dan beliau (kemudian) mendekatinya, ia mengatakan, ”’Auudzubillahi minka (aku berlindung kepada Allah darimu). Maka kemudian beliau bersabda kepadanya, ”Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, karena itu hendaklah engkau bergabung dengan keluargamu.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:3199, Fathul Bari IX:356 no:5254, Nasa’i VI:150).
Dari Ka’ab bin Malik r.a., ketika ia dan dua rekannya tidak bicara oleh Nabi saw, karena mereka tidak ikut bersama beliau pada waktu perang Tabuk, bahwa Rasulullah saw pernah mengirim utusan menemui Ka’ab (agar menyampaikan pesan Beliau kepadanya), ’Hendaklah engkau menjauhi isterimu!” Kemudian Ka’ab bertanya, ”Saya harus mentalaknya, ataukah apa yang harus aku lakukan?” Jawab Beliau, ”Sekedar menjauhinya, jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Kemudian Ka’ab berkata, kepada isterinya, ”Kembalilah engkau kepada keluargamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 113 no:4418, Muslim IV:1120 no:2769, ’Aunul Ma’bud VI:285 no:2187 dan Nasa’i VI:152).
2. Talak Dilihat dari Sudut Ta’liq dan Tanjiz
Redaksi talak adakalanya berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah.
Redaksi talak munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya : ’Engkau tertalak’.
Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya.
Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.
Hukum talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya.
Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.
3. Talak Dilihat dari Segi Argumentasi
Ditilik dari sisi ini talak terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i
Adapun yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang suci dari darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum mencampurinya.
Allah SWT berfirman, Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan do’a yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
”Hai Nabi apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar.” (At-Thalaq:1).
Nabi saw menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut :
Ketika Ibnu Umar menjatuhkan talak pada isterinya yang sedang haidh, maka Umar bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw lalu beliau menjawab, ”Perintahkan anakmu supaya ruju’ (kembali) kepada isterinya itu kemudian teruskanlah pernikahan tersebut hingga ia suci dari haidh, lalu haidh kembali dan kemudian suci dari haidh yang kedua. Lalu jika berkehendak ia boleh menceraikannya sebelum ia diceraikan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:482 no:5332, Muslim IOI:1093 no:1471, ’Aunul Ma’bud VI:227 no:2165 dan lafazh ini adalah riwayat Imam Abu Daud, dan Nasa’i VI:138).
Adapun talak bid’i ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak.
Hukum talak ini adalah haram, dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami mentalak isterinya yang sedang haidh, maka tetap jatuh satu talaknya. Namun jika itu adalah talak raj’i, maka ia diperintahkan untuk rujuk kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya hingga suci. Kemudian haidh lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau ia mau teruskanlah ikatan pernikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah sebelum mencampurinya. Sebagaimana yang Nabi saw perintahkan kepada Ibnu Umar r.a..
Adapun dalil tentang jatuhnya talak bid’i ialah riwayat Imam Bukhari:
Dari Sa’id Jubir dari Ibnu Umar ra, ia berkata, ”Ia (isteriku) terhitung untukku satu talak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:128 dan Fathul Bari IX no:5253).
Al-hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IX:353 menulis sebagai berikut :
”Sesungguhnya Nabi saw. yang memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk kepada isterinya dan beliau pulalah yang membimbingnya mengenai apa yang hendak ia lakukan bila ia ingin mentalak isterinya setelah suci dari haidh yang kedua. Dan manakala Ibnu Umar menginformasikan, bahwa ia telah menjatuhkan talak satu pada isterinya itu maka kemungkinan, bahwa pihak yang menganggap jatuh talak satu dari Ibnu Umar itu, selain Nabi adalah kemungkinan yang amat sangat jauh, karena dalam kisah ini banyak perintah isyarat yang menunjuka kepada, jatuhnya talak satu itu. Bagaimana mungkin bisea dikhayalkan bahwa Abdullah bin Umar dalam kasus ini mengerjakan sesuatu berdasar rasional semata, padahal di yang meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah marah atas perbuatannya itu?
Bagaimana mungkin ia tidak mengajak beliau musyawarah mengenai apa yang ia lakukan dalam kisah itu?”
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Dalam Musnadnya, Ibnu Wahib meriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Naf’i pernah menginformasikan kepadanya bahwa Ibnu Umar r.a. pernah mencerai isterinya yang sedang haidh. Kemudian Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, maka jawab Beliau, ”Perintahkanlah dia supaya ruju’ kepada isterinya, kemudian teruskanlah pernikahannya hingga isterinya suci.” Kemudian Ibnu Abi Dzi’b dalam hadits ini meriwayatkan dari Nabi saw, Beliau bersabda, ”Itu talak satu.” Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan (lagi) dari Hanzhalah bin Abi Sufyan bahwa ia pernah mendengar Salim meriwayatkan dari bapaknya, dari Nabi saw tentang pernyataan itu.
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Daruquthni meriwayatkan dari jalu Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Abi Ishaq keduanya dari Naf’i:
Dari Ibnu Umar ra dari Nabi saw., Beliau saw. bersabda, ”Itu talak satu” (sanadnya Shahih Irwa-ul Ghalil VII:134 dan Daruquthani IV:9 no:24).
Dan ini adalah (yang sudah jelas) dalam permasalahan yang diperselisihkan, maka (bagi kita) untuk mengikuti nash ini.

Talak Tiga
Adapun seorang suami yang mencerai isterinya dengan talak tiga dengan satu kalimat, atau dalam satu majelis, maka jatuh satu berdasar riwayat Imam Muslim:
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Talak pada periode Rasulullah saw, Abu Bakar dan beberapa tahun pada masa khalifah Umar talak tiga, (sekaligus) jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab ra berkata, ”Sesungguhnya orang-orang benar terburu-buru dalam memutuskan urusan (thalak) ini, yang dahululnya mereka sangat hati-hati. Maka kalau kami berlakukan mereka, lalu diberlakukanlah hal itu atas mereka.” (Muslom II: 1099 no:1472).
Pendapat Umar ini adalah ijtihad dia sendiri yang tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan menurut pandangannya, namun tidak boleh meninggalkan fatwa Rasulullah saw. dan yang menjadi pegangan para sahabat beliau pada masa Beliau dan pada masa khalifah Beliau. Selesai.

4. Talak Ditinjau dari Segi Boleh Tidaknya Rujuk
Talak terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i (suami berhak untuk rujuk) dan talak bain (tak ada lagi hak suami untuk rujuk kepada isterinya). Talak bain terbagi dua, yakni bainunah shughra dan bainunah kubra.
Talak raj’i adalah talak isteri yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa menerima pengembalian mahar dari isteri dan sebagai talak pertama atau talak kedua.
Allah SWT befirman, Talak (yang dirujuki) dua klia. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
Wanita yang dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk dan dia berstatus sebagai isteri yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak untuk rujuk kepadanya pada waktu kapan saja selama dalam massa iddah dan tidak dipersyaratkan harus mendapat ridha dari pihak isteri dan tidak pula izin dari walinya. Allah SWT berfirman, ”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti (berakhirnya masa iddah) itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228).

jadi jelaslah kita harus berhati-hati dalam setiap perkataan kita, setiap kata yang keluar dari mulut kita, ternyata bisa jdi perantara sebuah kunci pembuka neraka, sekiranya kita jaga setiap perkatan kita.....,wallahu a'lam..................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar