Menurut Dr. Lwiss Saliba, pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne, Prancis, dewasa ini masyarakat Barat sedang gelapagan mencari dimensi spiritualis sebagai penyeimbang epistemologi dan cara pandang mereka yang materialistik.
Zaman terus berputar. Kini, di usianya yang semakin senja zaman seperti hendak mengulang sejarah masa silam. Akhlak yang sudah ditata rapi oleh para ulama salaf sedikit demi sedikit mulai memudar. Manusia hanya disibukkan dengan pelbagai macam pernak-pernik kehidupan. Semakin larut ke dalam masalah duniawi jiwa terasa bertambah kering sehingga membutuhkan oase yang menyejukkan.
Apakah zaman benar-benar akan mengulang sejarah?
Syahdan, pada abad ke-2 Hijriyyah manusia terbuwai dengan aneka macam urusan duniawi. Umat Muhamad semakin banyak yang jauh dari ajaran penutup para rasul itu. Orang-orang yang masih bersih hatinya dari godaan dunia pergi menyepikan diri, mejauhi dunia dan kehidupan hedonis. Perilaku kelompok terakhir dewasa ini kita kenal dengan tasawuf.
Kini, di usianya yang senja, dunia semakin dekat menuju ke titik nadi kehancuran atau kembali ke masa silam. Nabi sudah mengingatkan ratusan tahun silam, ”Suatu saat akan datang kerusakan di mana manusia tidak lagi bersifat humanis.” Ronggowarsito sudah membuktikan sabda nabi dalam kata kesaksiannya, Ngamenagni zaman edhan. Atau dalam istilah mentereng Alvin Toffler-nya the shock age.
Saat ini—pada zaman yang sudah benar-benar edhan--keberadaan tasawuf semakin dibutuhkan sebagaimana saat kehadirannya pada abad ke-2 Hijriyah. Ia menjadi embun yang bisa menghilangkan dahaga. Jiwa yang kering bisa menjadi sejuk dengan membaca dzikir-dzikir bersama para mursyid. Dari pelosok desa sampai gemerlap ibu kota pesona tasawuf memancar indah. Dari gubung reot sampai hotel mewah, kajian-kajian tasawuf selalu ramai peminat.
Fenomena itu terjadi tidak lain karena jiwa manusia dewasa ini tidak memiliki dimensi penyeimbang sehingga seperti kafilah yang berjalan di gurun sahara tanpa bekal air dan makanan, terasa kering dan gersang. Maka dari itu, membutuhkan mata air untuk sekedar minum dan mengisi perbekalan secukupnya agar mereka bisa melanjutkan perjalanan dan sampai pada tujuan. Air itu adalah spiritualis-sufistik.
Bukan hanya masyarakat di nusantara yang merasakan kekeringan jiwa. Fenomena ini sudah menjadi wabah dunia, khususnya nun jauh di Barat sana. Di era global ini kebutuhan materi tidak bisa memberikan jaminan ketenangan bagi masyarakat Barat, justru sebaliknya kehidupan materialistik malah membuat mereka bagaikan--meminjam istilah Dr. Lwiss Saliba, pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne--orang dewasa berkaki bayi. Akibatnya, mereka berjalan pincang.
Oleh sebab itu, lanjut pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne, Prancis itu, orang Barat sedang gelagapan (Jawa: ngoyo) mencari dimensi lain yang dapat mengimbangi epistemologi dan cara pandang mereka yang materialistik. Sehingga, mereka berharap, perkembangan materi dan rohani bisa berjalan secara seimbang. Inilah bukti petapa dibutuhkannya kehadiran tasawuf dewasa ini sekaligus bukti tasawuf Islam juga mempengaruhi epistema pemikiran Barat.
***
Kehadiran tasawuf tidak pernah kering dari kritik dan menjadi lahan study kritis, juga auto kritik. Bukan hanya kalangan muslim yang melakukakannya, non-muslim pun tidak sedikit yang ikut andil. Bahkan banyak cendikiawan dan ilmuwan Barat yang terpengaruh pemikiran sufistik Islam. Misalnya—untuk menyebutkan beberapa contoh—Annimare Schimmel, Pierre Lorry, Louis Massignon, dan CF. Hatman.
Diantara orientalis yang megkaji tasawuf secara intens adalah nama yang saya sebutkan di atas, Lwiss Saliba. Dalam disertasi doktoralnya, L’Hindouisme et Son Influence sur La Pensśe Musulmane Selon Al Biruni, Saliba menguraikan pemetaan korelasi mistis antara tasawuf Hindu-India dengan Islam. Dari kalangan santri yang mengkaji tasawuf secara intens, antara lain, adalah Prof DR. K.H. Said Aqiel Siradj, MA dan Dr. K.H. A. Najib Afandi, MA.
Tasawuf pun tidak sepi dari tudingan miring dan pandangan sinis. Oleh golongan terakhir ini terma tasawuf hanya diidentikkan dengan hal-hal yang ”ketinggalam zaman,” anti kemajuan, darwisy (pakaian para sufi), menyepi, dan lain-lain.
Benarkah demikian? Sesempit itukah tasawuf? Apakah haram bagi esoterisme (baca: kaum sufi) mempunyai mobil mewah, menjadi apatur negara dengan batik dan sepatu mengkilap?
Sayyid Ali Abu Hasan Al Syadzili, pendiri tarekat Sadiliyyah, dengan moderat menerjemahkan zuhud dengan bahasa elegan, yaitu bentuk rasa syukur terhadap Sang Pencipta. Sederhanya, ketika kita berpakaian batik dan sepatu mengkilap sambil mengemudikan mobil mewah, misalnya, (asalkan di hati kita tidak terbersit rasa sombong) tidak akan keluar dari tasawuf, dengan cacatan niat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah limpahkan pada kita.
Bukankah nabi, dan para sahabatnya juga para sufi? Ahl shuffah adalah santri-santri pilihan nabi yang memilih tinggal di masjid bersama nabi dari pada bergumul dengan masalah duniawi secara berlebihan. Itu bukti bahwa tasawuf sudah ada sejak masa nabi. Nabi seorang pemimpin agama (nan sufi) sekaligus pemimpin pemerintahan. Lalu kenapa tidak, jika sufi juga merangkap sebagai (misalnya) kepala daerah atau bahkan RI satu.
Contoh lain bahwa tasawuf tidak haram terjun ke ”dunia” ialah tarekat sanusiyyah di Libya. Tarekat yang dibidani oleh Ali El Sanusi, pria kelahiran Aljazair, ini bukan hanya gerakan Islam esoterik, tetapi juga kekuatan politik yang solid. Bahkan Ali El Sanusi, sang pendiri, termasuk salah seorang yang punya andil saat renainsanse Eropa. Ia—utamanya Omar El Mukhtar—adalah pejuang yang gigih melawan penjajah Italia sampai akhirnya ketika Libya meraih kemerdekaan, cucu pendiri tarekat ini mendapat kepercayaan rakyat Libya untuk menjadi raja Libya pertama dengan gelar Raja Sanusi I. Mulai saat itu, Libya menjadi negara sufi.1
Syeikh Ahmad Musthafa Al Khulli, muryid tarekat Al Syadziliyyah Al Hamidiyyah Mesir, meluruskan pemahan keliru itu. Menurutnya, justru orang sufi harus beretos kerja tinggi. Nabi pernah mencium tangan (kasar) salah seorang sahabatnya karena ia pekerja keras. Jadi, seorang sufi harus tetap berkeja keras; orang perkasa yang tidak akan menelantarkan keluarga. Harta hanya di tangan buka di hati; hati hanya untuk mengingat Tuhan sebagaimana statemen Sayid Abu Bakar dalam Kifayah Al Atqiya’,
فَقْدُ عَلاَقَةِ الْقَلْبِ بِالْمَالِ ، وَلَيْسَ هُوَ فَقْدَ الْمَالِ
Aartinya: “Menghilangkan ketergantungan hati terhadap harta benda (dunia), bukan berarti tidak punya harta.”
Ibnu Thufail menjadi representasi seorang sufi yang filosop, pakar ilmu kedokteran, dan seorang menteri, Al Ghazali adalah cerita lain. Ia perwakilan dari seorang sufi yang mahir ilmu fikih, kalam, dan filsafat. Magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, menjadi rudal yang meroketkan namanya dalam dunia ini. Dari sini bisa diambil benang merah esensi tawasuf atau kehidupan zuhud adalah tidak menggantungkan kehidupan kita pada dunia; harta hanya di tangan sedangkan hati tetap untuk (mengingat) Tuhan. Sufi juga tidak harus selamanya menyepi. Sebaliknya, seorang sufi tidak selayaknya hanya mengenal dzikir-dzikir saja tetapi juga pakar dalam bidang yang lain, seperti dua nama di atas.
A. Muntaha Afandie alumnus Ponpes Lirboyo Kediri, Jawa Timur, sejak 2007 tercatat sebagai mahasiswa International Islamic Call College, Tripoli, Libya. Belajar menulis sebagai redaktur Misykat. Selain kesibukannya sebagai mahasiswa dan Pemred AL Ukhuwah dan Sahara, ia juga aktif mengisi rubrik kajian tasawuf majalah EL Waha dan mengirimkan tulisan-tulisan ringan ke majalah tempat ia belajar menulis. Lebih lengkap tentang penulis klik: www.jokotingkir.co.nr atau www.achmadmuntaha.co.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar