Tidak sedikit orang yang berusaha mencari justifikasi (pembenar), agar pilihannya menjadi orang kaya tidak direcoki oleh kepentingan agama. Bagi mereka kaya itu lebih baik dari pada miskin, asalkan mau bersyukur. Tidak jarang pula mereka menjadikan keberadaan para sahabat Nabi yang kaya raya sebagai tameng diri mereka. “Kalau sahabat Abdurrohman bin ‘Auf saja kaya raya dan tidak dilarang oleh Nabi kenapa aku tidak boleh?”
Begitu kira-kira yang ada dibenak mereka.
Namun sangat disayangkan kalau apa yang mereka katakan tidaklah sejalan dengan apa yang terjadi di lapangan. Mereka hanya pandai berkhotbah dan berteori tentang masalah dunia. Tetapi sama sekali hal itu tidak terjadi dalam kehidupan mereka. Itulah yang kemudian disebut dengan ‘ulamassu’ (ulama jelek). Dari luar, mereka kelihatan sangat bagus dan baik, namun di dalam hati mereka yang tersisa hanyalah kotoran-kotoran yang menjijikkan. Mereka tak lebih dari sebuah alat penyaring yang selalu mengeluarkan kebaikan bagi orang lain namun juga menyisakan kehinaan bagi dirinya sendiri.
Harus disadari bahwa budak-budak duniawi selamanya tidak akan pernah mencapai puncak surgawi. Mereka tidak akan pernah merasakan kenikmatan ukhrowi yang haqiqi kalau mereka tidak bisa melepaskan diri dari rasa syahwat dan cinta duniawi yang menunggangi mereka. Sebenarnya hati kecil mereka sadar akan hal ini dan selalu menangis minta keadilan. Tetapi mereka lebih dikendalikan oleh nafsu dan birahi dari pada suara hati kecil mereka. Sehingga permintaan si hati kecil hanya dituruti oleh lisan saja. Seolah-olah mereka mengajak umat manusia untuk meninggalkan dunia sedikit demi sedikit. Padahal dia tidak pernah sadar bahwa sebuah rumah yang gelap gulita tidak akan pernah menjadi terang benerang hanya dengan sebuah lampu yang diletakkan di luar.
Mengaku atau pun tidak, kebahagiaan mereka para pengumpul harta benda hanyalah bersifat semu dan fatamorgana belaka. Sehingga tak jarang di balik rasa bahagia yang mereka bangun kerap kali timbul perasaan susah dan khawatir bahkan sering menimbulkan berbagai tindak kedurhakaan kepada Allah. Mereka selalu berharap bisa mencapai tingkat kebahagiaan yang haqiqi dengan dunia yang mereka miliki. Namun sayang mereka telah salah jalan. Menyesal-lah mereka di dunia dan akhirat. Demikian itulah penyesalan yang nyata.
Kalaupun kemudian mereka beragumentasi dengan kekayaan yang dimiliki para ulama dan sahabat Nabi Muhammad itu semua tidak lebih dari sekadar alasan agar mereka bisa merasa tenang, dan juga tak lain merupakan tipu daya syetan untuk menyesatkan manusia. Secara realisitis harus dipahami bahwa kekayaan yang dimiliki oleh Sahabat Abdurrohman bin ‘Auf atau sahabat yang lain bukanlah digunakan untuk takatsur (jor-joran), kemulyaan dan menghiasi diri sendiri saja. Dan kalau mereka beranggapan bahwa apa yang ada pada diri sahabat seperti itu sama dengan mereka, maka celakalah mereka yang telah merendahkan derajat seorang sahabat Nabi. Dan jika apa yang mereka kumpulkan hanyalah harta yang halal saja bukan berarti itu bisa dijadikan sebagai jaminan untuk mendapatkan legalitas agama dalam menumpuk kekayaannya.
Kenapa mereka tidak mau pernah berpikir secara jernih bahwa segala alasan mereka untuk mendapatkan kekayaan yang sebanyak-banyaknya dengan dalih sahabat Abdurrohman adalah kesalahan yang sangat fatal. Mereka tidak mau meneliti secara detail pada diri beliau. Bahwa meskipun beliau memiliki harta yang melimpah, semua itu malah bukan menjadi harapannya. Sehingga sering kali beliau berharap agar kelak di hari kiamat hanya diberi harta yang sekadar untuk kecukupan makan saja. Bahkan para sahabat beliau sempat menghawatirkan keberadaan beliau setelah meninggal dunia, padahal beliau termasuk salah satu sahabat yang mendapat jaminan masuk sorga.
Bila para sahabat saja khawatir akan diri Abdurrohmah bin ‘Auf padahal harta yang beliau peroleh semua dengan cara yang halal dan selalu dialokasikan pada kebaikan, lantas bagaimana dengan orang-orang yang di bawah level beliau?
Sungguh ironis kalau ini masih dijadikan sebagai alasan oleh mereka. Padahal harta yang mereka peroleh sangat rentan bercampur dengan barang subhat, haram atau sangat mungkin tercampur dengan hak milik orang lain. Dan sudah sangat jelas inilah strategi hebat yang selalu dijalani si Jahannam, Iblis.
Memang, tidak bisa dipungkiri kalau banyak kalangan kyai yang memiliki harta melimpah. Tetapi dengan semua itu mereka sangat merasa tahu diri karena tujuan mereka hanya satu yakni jalan Allah. Maka mereka hanya akan bekerja dan makan dari yang halal saja, tidak foya-foya, tidak bakhil dan selalu mengedepankan kepentingan Allah atas kesenangan pribadinya. Lantas demikiankah orang-orang yang mengaku meniru sahabat Abdurrohman bin ‘Auf itu? Entahlah. Tetapi yang nyata dan jelas adalah tidak.
Para sahabat Nabi bukalanlah tipe manusia yang mata duitan dan kedunyan. Mereka adalah kelompok orang yang lebih suka kemiskinan dari pada bergelimang harta benda. Dalam keadaan susah atau pun bahagia mereka selalu merasa ridla dan bangga akan taqdir dari Allah. Sehingga tak jarang para sahabat ketika mendapatkan secuil harta saja, rasa susahnya bukan main. Bagi mereka harta dunia sekecil apa pun bisa menjadi ancaman serius yang bisa menghancurkan kehidupan akherat mereka. Namun bila kekurangan datang menghampiri mereka, dengan rasa bangga mereka akan menyambut dengan mengucapkan “marhaban bisyi’aris sholihin” (selamat datang tanda-tanda kebesaran kaum sholihin).
Sewaktu mereka ditanya, “Mengapa semua itu mereka lakukan?” mereka menjawab, “Ketika matahari menyinari diriku dan di sekitarku dan keluargaku tidak ada apa-apa maka aku merasa bahagia karena aku telah dapat mengikuti jejak Rasulullah. Namun jika di sekeliling kami ada harta dunia kami merasa susah karena kami ternyata tidak mampu mengikuti jejak langkah Rasulullah”.
Dan kalau kemudian mereka merasa bisa meniru sahabat Abdurrahman bin ‘Auf, hanya mencari dan makan yang halal saja kemudian ditasarrufkan terhadap hal-hal yang diridlai oleh Allah, maka sekali lagi percayalah, bahwa hal itu juga merupakan agenda jebakan Syetan.
Mereka harus menyadari kalau mencari sesuatu yang benar-benar halal seperti yang pernah diperoleh para sahabat pada masa sekarang ini tak lebih seperti halnya mencari butiran pasir hitam di tengah kegelapan malam. Tentunya perlu diperhatikan bagaimana kehati-hatian para sahabat dalam mencari harta benda. Seumpama ada 70 pintu menuju perkara halal dan bersanding dengan 1 pintu menuju hal haram, mereka tidak akan pernah mau melewati ke-71 pintu tersebut. Padahal pada masa sekarang ini untuk mencari harta yang benar-benar halal sangatlah sulit sekali atau bahkan bisa dibilang mustahil. Lantas bagaimana dengan mereka para hamba dunia itu?
Seumpama mereka bisa melakukan hal itu pun bukan berarti mereka telah menyelesaikan segala permasalahan. Mau tidak mau setelah harta telah mereka peroleh, mareka harus memikirkan bagaimana mentasarrufkannya. Dan ini pun akan sangat menguras energi dan pikiran. Sehingga Khiyarut Tabi’in (Para Tabi’in terbaik) ketika ditanya, “Baik mana antara orang yang mencari harta kemudian ditasarrufkan di jalan Allah dengan orang yang sama sekali tidak mencari harta?” mereka menjawab, “Orang yang kedua itu masih lebih baik dari pada orang yang pertama. Dan kalau dibandingkan, jarak perbedaan diantara keduannya adalah bagikan arah barat dan timur.”
Kalaupun dengan memperbanyak harta benda itu akan bisa mendatangkan kebahagiaan, maka bagaimana mungkin Rasulullah tidak melakukan hal itu. Padahal beliau adalah lentera petunjuk bagi seluruh umat manusia. Bahkan seandainya mau, beliau bisa menjadi orang yang terkaya sejagat raya. Sampai malaikat Jibril juga pernah menawari beliau bongkahan emas sebesar gunung Uhud. Namun beliau tidak pernah mau dan lebih menyukai hidup dengan serba sederhana. Dan tentunya cukuplah bagi mereka kisah sahabat Tsa’labah.
Maka tidak ada alasan sama sekali bagi seseorang untuk menumpuk harta kekayaannya. Apapun argumentasi yang mereka pakai semua itu adalah rekayasa dan tipu daya yang telah dirancang dengan rapi oleh Iblis dan Syetan. Dan itu mereka gunakan hanyalah untuk membentengi diri mereka dari intervensi agama. Dan mereka sadar betul kalau sebenarnya itu mereka lakukan hanya karena takut jatuh miskin, untuk berfoya-foya, jor-joran dan sebagainya. Mengaku atau tidak? Mereka harus mengakuinya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar