Jawaban dari beberapa pertanyaan yang masuk ke Forum Musyawarah PP. Langitan via web :
Menggulung Tangan.
Hukum meletakkan tangan kanan dibawah tangan kiri itu khilafussunnah (tidak mendapatkan kesunnahan). Diriwayatkan oleh Shohabat Wa’il bahwasanya: ia (Wa’il) melihat Nabi Muhammad Saw. setelah takbiratul ihrom meletakkan tangan Kanannya diatas tangan kirinya.(Muslim: 2/12)
Bersedeku Saat I’tidal
Meletakkan kedua tangan diatas dada itu hanya kuwarid (dicontohkan oleh Nabi) pada tiap selesai membaca takbir dalam sholat. Sedangkan setelah I’tidal bacaan masyru’ (yang disyari’atkan Nabi) adalah سمع الله لمن حمده , sehingga para ulama’ berkesimpulan bahwa meletakkan kedua tangan hanya dilakukan; (1) setelah takbiratul ihrom (saat berdiri membaca Do’a iftitah sampai surat), (2) setelah bangkit dari sujud (Qiyaam/berdiri ke-dua, ke-tiga dan ke-empat).(hasyiyah jamal; 3/479)
Qurban & Aqiqoh
Menyembelih Hewan ternak yang diniati Aqiqoh dan qurban terdapat khilaf (perbedaan pendapat). Menurut Imam Ibnu hajar Al Haytami tidak sah salah satunya, karena pada dasarnya aqiqoh dan qurban adalah jenis pekerjaan yang mempunyai tujuan tersendiri. Qurban merupakan Dhiyafah Amm (jamuan untuk umum), sedangkan Aqiqoh adalah Dhiyafah Khos (jamuan khusus), dan masing-masing punya hukum tersendiri.
Sedangkan menurut Imam Romli Asshoghir, hewan yang disembelih dengan niat seperti itu sah keduanya (aqiqoh dan qurbannya). Permasalahan ini oleh Imam Romli disamakan dengan masalah mandi hari jum’at. Mandi jum’at yang disertai dengan mandi jinabat hukum keduanya sah. (hawasyayi syarwani; 9/370)
Aqiqoh Pakai Sapi
Aqiqoh dengan sapi itu sudah mencukupi (sah), karena yang prinsip dalam penyembelihan aqiqoh dan qurban itu memakai hewan ternak (sapi atau kambing). (hasyiyah bujairimi Al Khotib; 4/215)
Onani
Onani atau kalau dalam istilah fiqh disebut (استمناء باليد) adalah bentuk perbuatan yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan berat kelak siksa yang akan diterima diakhirat. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa orang yang punya kebiasaan Onani kelak diakhirat akan dikawinkan dengan tangan mereka sendiri, dan pada waktu itu tangan-tangan mereka dalam keadaan bunting (mengandung anak hasil onani).
Dari segi medis orang yang punya kebiasaan onani cara berfikirnya menjadi lamban, badan mereka kurus, muka dan wajahnya pucat, kelak saat mereka berumah tangga tidak akan terjadi keharmonisan.
Mengenai hukum onani ulama’ sepakat bahwa onani haram hukumnya dan termasuk dosa besar.
Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa “الضرر يزال” artinya, bahaya yang akan menimpa seseorang itu hendaknya disingkirkan. Dari kaidah ini golongan ulama’ mazhab hanabilah dan hanafiyah memberikan batasan diperbolehkannya onani dengan tiga syarat; (1) ia belum pernah menikah (1) takut akan terjerumus dalam zina secara nyata (sudah bisa dipastikan) (3) tidak bertujuan mengumbar nafsu atau sebagai sarana rekreasi belaka.
Namun perlu diingat bahwa syarat yang ke-dua dalam relita sulit dijumpai. Karena rosululloh telah memberikan solusi yang efektif dan tidak menimbulkan resiko, yaitu dengan cara berpuasa, selain itu para ulama’ memberikan beberapa cara untuk terhindar dari onani:
1. segeralah menikah
2. jangan berlebihan dalam makan dan minum
3. menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa merangsang onani, seperti melihat gambar atau film porno, melihat wanita yang bukan mahrom dll.
4. membiasakan menonton pemandangan yang lebih berguna bagi kesehatan seperti pemandangan alam semesta (flora dan fauna)
5. memelih teman yang konsisten, memperbanyak ibadah, jangan terbelenggu dengan pikiran yang terlalu sempit atau yang mendahulukan kepentingan sesaat
6. memperbanyak kegiatan social kemasyarakatan yang bisa menjauhkan diri dari olah pikir yang menuju kepada biologis
7. tidak berlebihan dalam berpakaian dan memakai harum-haruman (minyak wangi)
8. tidak tidur diatas alas yang biasa digunakan oleh pasangan lawan jenis
9. menjauhkan diri dari orang-orang yang punya indikasi kepada perbuatan onani dan fitnah-fitnah lainnya.
(Fatawy syibkah al islamiyah; 153, hikmah At-Tasyri’; 290-292)
Perawi
Perawi adalah orang yang meriwayatkan/menceritakan hadits Nabi Muhammad Saw. Hadits Nabi mencakup ucapan (sabda), tindakan/perbuatan Nabi dan ketetapan. Yang dimaksud ketetapan nabi adalah sikap nabi yang tidak menyerukan/mengajak juga tidak melarang atau ingkar. Sikap Nabi saat itu hanya diam.
Syarat-syarat Rowi dianggap shohih harus menetapi beberapa kriteria;
1. Ittishol sanadnya (mata rantai yang menyambungkan sampai kepada Nabi Saw.)
2. Adil, yaitu orang Islam yang bersih dari sifat kefasikan (melakukan dosa besar atau dosa kecil terus enerus) dan sifat-sifat tercela lainya.
3. Dhobith, yaitu orang yang punya daya ingat yang luar biasa. Ia mampu menyimpan dan menghadirkan kembali memori ingatannya kapan saja secara tepat.
4. Tidak Syadz (tidak mengandung kejanggalan), artinya rowi yang terpercaya tidak berlawanan dengan rowi yang lebih terpercaya.
5. tidak mengandung illat, artinya sifat yang samar yang menjadi penghalang diterimanya hadits, padahal dhohirnya bebas dari cacat.
Yang harus kita ikuti adalah hadits yang maqbul (hadits shohih dan hasan), sedangkan yang tdak adalah yang mardud (hadits dho’if). Namun demikian, ulama’ memilah mengenai hadits dho’if. Hadits dho’if boleh dipakai bila menyangkut fadhoilu Al-amal (ritual ibadah sunnah). Hadits dho’if yang menyinggug hukum tidak diperbolekan di buat pijakan.
Kita harus yaqin bahwa semua hadits yang termuat dalam shohihain (Bukhori & Muslim) adalah shohih bahkan mutawatir (tidak mungkin terjadi kebohongan).karena beliau sangat selektif dalam menerima riwayat hadits. Pernah suatu ketika Imam Bukhori tidak mau menerima hadits dari seseorang dikarenakan ia pernah mencoba memberi makan kepada kudanya dan setelah diketahui bahwa kudanya masih doyan makan ia tidak jadi memberikan makan kudanya. Saat itu Imam Bukhori berkesimpulan bahwa “kalau kudanya saja dibohongi, jangan-jangan apa yang disampaikan nanti juga bohong” (Qowa’id Al-Asasyiyah)
Qunut Shubuh
Hadits yang menerangkan qunut shubuh adalah hadits yang diriwayatkan oleh shohabat anas dan Abi hurairoh r.a. Memang benar bahwa redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Shohabat Abi hurairoh adalah “Nabi selalu qunut selama satu bulan penuh kemuidan meninggalkannya”, namun ada hadit lagi yang diriwayatkan Shohabat Anas r.a bahwasanya Nabi selalu melakukan Qunut dalam sholat shubuh sampai akhir wafatnya. Dari kedua riwayat yang berbeda ini ulama’ menjami’kan (mengkompromikan) bahwasanya; Nabi meninggalkan do’a qunut (mendo’akan agar mendapat laknat Alloh Swt.) untuk orang-orang kafir, namun beliau masih selalu qunut tanpa melaknat orang-orang kafir.
Praktek qunut yang dilakukan oleh Nabi juga pernah dilakukan di pondok pesantren langitan , misalnya saat Amerika memerangi orang-orang islam di timur tengah. Cara prakteknya, qunut sebagaimana biasanya, yaitu membaca Allohumma Ihdina fiman hadayt sampai akhir kemudian menambahkan do’a agar orang-orang yang memusuhi kaum muslim dihancurkan oleh Alloh Swt. Dan praktek semacam ini hanya beberapa hari, sama halnya saat Nabi melakukannya. Nabi pada waktu itu tetap melakukan qunut sehari-hari (bukan nazilah), ahanya saja nabi dalam waktu beberapa hari menambah bacaan qunut naziilah.
Riwayat shohabat Anas dan Abi hurairoh adalah sama-sama riwayat yang shohih. Hadits Ibnu mas’ud yang menyebutkan bahwa Nabi tidak pernah melakukan qunut shubuh adalah riwayat yang sangat dho’if. Hadits tersebut di dapat dari Muhammad bin Jaabir Assahami, banyak ulama’ hadits yang meninggalkan riwayatnya. (Majmu’ 3/503-504)
Pacaran
Pacaran identik dengan hubungan asmara yang dilakukan oleh lawan jenis yang bukan mahrom. Apapun jalan yang digunakan dalam pacaran meski tidak sampai terjadi kholwat atau nadhor secara umum tidak diperbolehkan, ini semata-mata untuk menghindari hal-hal dan akibat yang nanti akan terjadi. Imam syafi’I mengatakan “Daf’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbi Al-Masholih” artinya, menolak kejelekan yang akan terjadi itu diutamakan dari pada mengambil manfaat. Kaidah ini kalupun nantinya dalam komunikasi ada beberapa keuntungan positif yang diperoleh, lalu apakah dalam komunikasi antar jenis terdapat manfaat yang sesuai dengan agama?.
Bahkan kalau ditilik dari sisi yang lain dalam pacaran terdapat unsur-unsur cerita percintaan / asmara. Kaitannya dalam hal ini fiqh melarang seseorang menceritakan atau mempublikasikan hal-hal seperti itu.
Lain halnya apabila komunikasi tersebut mengandung unsur da’wah atau lainnya, maka masih ada celah diperbolehkannya, namun sekali lagi pacaran adalah hubungan asmara tidak yang lainnya. (Fawaaidul janiyyah;153)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar