Allah SWT berfirman, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Al Quran surat Ali ‘Imran: 159)
Allah SWT juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Al Quran surat Ali ‘Imran: 200)
Saat ini, kita jadi prihatin lantaran berita ketidaklulusan dalam UAN (ujian akhir nasional) yang dialami oleh sebagian siswa SLTA dan nanti disusul untuk siswa SLTP. Meski persentasinya kecil, jumlah siswa yang tidak lulus mencapai ribuan. Pasti mereka merasakan kesedihan yang mendalam. Betapa tidak! Mereka telah bersusah payah sekolah selama hampir tiga tahun. Tapi, gara-gara satu pelajaran yang di-UAN-kan di bawah nilai standar kelulusan, maka terpaksa mereka harus mengulang satu tahun lagi alias ngendog.
Protes dari yang tidak lulus dan pihak-pihak pendukungnya gencar dilakukan. Tuntutan untuk mengadakan ujian ulang (her) juga begitu kuat. Bahkan, ada pula yang nekad melakukan hal-hal yang anarkhis. Gonjang-gonjing ketidaklulusan ini pun berhembus sampai ke Pemerintah Pusat. Namun, pihak penguasa itu tetapo tidak mengabulkan tuntutan keras mereka.
Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi hal itu secara arif dan islami?
Tidak lulus UAN pada hakikatnya merupakan kegagalan. Itu pasti menyakitkan siapa pun yang mengalaminya. Bukan hanya yang gagal saja, tapi juga orang-orang terdekatnya. Dalam keadaan seperti ini, rasa frustasi dan putus asa pasti menghantui hati. Maka, jangan heran jika mereka yang tidak lulus UAN itu menangis, pingsan, mengamuk, dan bahkan melakukan tindakan anarkhis lainnya. Semua itu merupakan perwujudan rasa ketidakpuasan mereka atas kegagalannya.
Sikap semacam itu, tentu saja, sangat kita sayangkan. Mengapa? Karena, hakikat kegagalan UAN salah satunya akibat kemalasan siswa sendiri. Mereka kurang mempersiapkan diri dengan baik. Mereka menganggap, ikut UAN, berarti lulus. Toh pelajaran yang di-UAN-kan hanya beberapa saja. Itu pun nanti waktu ujian bisa saling kerja sama, saling contek, dan tindak kecurangan lainnya. Sikap siswa yang demikian akhirnya menjadi blunder bagi dirinya sendiri, yakni berupa gagal dalam UAN.
Selain persiapan yang kurang maksimal, juga kurang berserah diri kepada Allah alias tawakal. Mereka anggap dengan belajar saja cukup, tanpa menyandarkan hasil akhir kepada-Nya. Jiwa religius semacam inilah yang kurang dimiliki siswa, baik yang lulus, apalagi yang tidak. Seolah-olah lulus tidaknya UAN itu hanya tergantung usaha mereka sebagai manusia. Padahal, di atas mereka masih ada Dzat yang paling menentukan, yaitu Allah yang Mahakuasa.
Kalau sudah gagal begini bagaimana? Jalan satu-satunya adalah bersabar dan bertawakal sesuai firman Allah di atas. Di dalamnya, mengandung makna melakukan koreksi diri, berusaha keras mengikuti UAN tahun depan atau mengikuti ujian persamaan kejar paket B (untuk SLTP) atau C (untuk SLTA), serta jangan lupa bertawakal kepada Allah. Ini perlu dilakukan agar terhindar dari tindakan negatif yang kontraproduktif dan destruktif. Tidak ada gunanya lagi menyesali kegagalan saat ini karena toh itu akibat dari kemalasan sendiri sebelum menempuh UAN.
Yang penting sekarang adalah menatap masa depan. Hal itu harus diwujudkan dengan belajar yang lebih keras, tekun, dan tanpa kenal lelah. Jangan lupa pula menyerahkan segala ikhtiar kepada Dzat yang Maha Berkehendak. Insya Allah dengan dua bekal, yaitu sabar dan tawakal tadi kegagalan saat ini dapat ditebus dengan menembus UAN tahun depan atau ketika ikut ujian persamaan kejar paket.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar