Minggu, 11 Januari 2009

ikhas di zaman global

Berbicara masalah ikhlas, memang gampang-gampang susah. Gampang sekali kita bilang, "Saya ikhlas kok, bener saya nggak mengharapkan apa-apa." Yah, mungkin ucapan semacam itulah yang sering diucapkan seseorang ketika memberikan sesuatu kepada orang lain. Ikhlas dalam terminologi arab berasal dari kata khalasa yang berarti murni. Sedangkan makna ikhlas itu sendiri adalah ketulusan hati.
Namun tidak hanya sampai di situ kita memaknai ikhlas. Ikhlas adalah sebuah kata yang mengandung pengertian dan makna yang sangat luas. Ikhlas memang bisa ada di mana-mana, namun sulit sekali dalam mewujudkannya. Seperti yang saya sampaikan di awal tadi, gampang mengucapkannya dan sulit mewujudkannya. Apakah benar keikhlasan seseorang dinilai karena dia telah berkata bahwa dia ikhlas? Tentu tidak.
Ikhlas sangat erat kaitannya dengan hati dan memang terletak di dalam hati. Tiada seorangpun yang tahu keikhlasan seseorang kecuali dirinya sendiri dan Allah Swt. Seperti yang telah Allah firmankan dalam al-Qur'an, surat Annisa ayat 114 yang artinya: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridlaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar."
Jadi jelas bahwa ikhlas adalah ketulusan hati dalam mencari keridlaanNya. Kita akan bisa mewujudkan ikhlas jika kita benar-benar lega, hati kita tenang dalam melakukan perbuatan yang baik itu. Contoh kecil, seorang pelajar akan lega dan tenang dalam belajar jika ia merasakan kebahagiaan, memiliki fasilitas yang memadai. Bagaimana mungkin ia akan lega dan tenang jika ia tak memiliki buku dan uang saku? Apa jadinya?
Berbicara masalah pelajar atau murid, tentu akan berkaitan dengan guru atau pendidiknya. Kalau kita lihat belakangan ini kondisi dunia pendidikan kita masih memprihatinkan. Bagaimana tidak? Kualitas pendidikan kita memang masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Jepang atau negara Asia lainnya. Meski tidak dalam posisi terburuk, Indonesia yang sebenarnya dalam posisi lebih baik dari Jepang, tidak bisa berbuat banyak.
Siapa yang bisa disalahkan dalam hal ini, guru ataukah anak didiknya? Buruknya sebuah pendidikan memang sangat terkait dengan beberapa faktor. Faktor utama yang menunjang pendidkan adalah tersedianya fasilitas yang memadai dan sistem mengajar yang baik dan tepat. Dari sisi fasilitas belajar, Indonesia masih bisa dibilang minim. Lihat saja, di berbagai daerah masih banyak kita lihat gedung-gedung sekolah yang rusak. Lihat saja kasus di Blitar. Sampai hari ini paling tidak ada 243 gedung sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Semuanya tinggal menunggu waktu untuk segera ambruk. Di manakah peran Pemerintah selama ini? Di mana kepedulian pemerintah?
Sudahlah, kita tinggalkan dulu bicara tentang gedung-gedung sekolah itu. Kita coba bicarakan tentang fasilitas lain untuk guru yang tak kalah pentingnya. Selama ini, kesejahteraan guru kurang begitu diperhatikan –bahkan sama sekali. Seorang guru akan lebih bisa mendarmabaktikan tenaga, fikiran, dan kemampuannya untuk mengajar jika fasilitas mereka dipenuhi. Jika fasilitas mereka seperti, kebutuhan sehari-hari, pelayanan kesehatan, dan tunjangan kehidupan sudah layak, maka kemajuan pendidikan kita akan segera tercapai. Bisa kita bayangkan, bagaimana seorang guru bisa mempersiapkan mata pelajaran yang akan diajarkan bila sepulang sekolah ia masih disibukkan untuk mencari tambahan uang, atau mempunyai pekerjaan lain.
Sementara ini yang dipenuhi hanya tunjangan anggota dewan saja, guru sama sekali tidak terpikirkan. Bagaimana Indonesia mau maju jika terus seperti itu? Tunjangan kepada para guru paling hanya berbentuk ucapan, "Yang ikhlas dalam mengajar, mari kita didik anak bangsa kita."
Pengimplementasian dari ”Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ternyata masih dimaknai secara mentah-mentah. “Tanpa Tanda Jasa” diartikan bahwa guru tidak perlu mendapatkan gaji yang besar. Karena seorang guru haruslah ikhlas, tak mengharapkan apa-apa. Ketika seorang guru mendapatkan gaji besar, apakah lantas gelar tanpa tanda jasa itu hilang?
Pribadi, jiwa, tingkah laku seseorang tentu sangat terkait dengan guru. Baik-buruk seseorang –selain dibentuk oleh lingkungan- juga ditentukan bagaimana seorang guru memproses dan dirinya berproses. Jadi, peran guru dalam membentuk pribadi seseorang sangat vital dan urgen. Ketika seorang guru tidak dapat optimal dalam mendidik siswanya, tentu anak didiknya pun tidak terbentuk dengan jiwa yang sempurna.

Ikhlas dalam mengajar, bukan berarti tanpa kompensasi yang jelas dan kurang layak. Ikhlas haruslah rasional. Seorang pengajar akan lebih enjoy, tenang, dan bisa menyampaikan materi pelajaran setelah fasilitas yang mereka miliki sudah mencukupi. Jadi ikhlas rasional adalah ikhlas melakukan sesuatu –misal mengajar- namun harus diimbangi dengan gaji/ upah serta tunjangan yang proporsional. Karena keikhlasan seorang guru mempunyai peran efektif dalam membentuk siswa yang berkualitas.
Lain ladang lain ilalang, lain dulu lain sekarang. Dulu di masa-masa perjuangan, gaji guru sedikit bahkan ada pula yang tidak digaji. Namun sekarang di zaman yang serba ada dan Indonesia mempunyai dana yang cukup, apakah para guru akan tetap seperti ini? Siapa yang akan memenuhi fasilitas mereka? Siapa lagi kalau bukan Pemerintah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar