Minggu, 11 Januari 2009

Shalat Guru Sejati (2)

Oleh: H. Dhabas Rakhmat

Pada bagian pertama tulisan tentang ini menjelaskan bagaimana shalat sebagai guru sejati. Di sana dijelaskan bahwa guru sejati yang dimaksud mengarahkan pada muridnya untuk bisa berkomuniksi dengan Allah, dan shalat sendiri merupakan oleh-oleh dari Isra Mi’raj Kanjeng Nabi Muhammad saw. Maka pada bagian tulisan ini mencoba membuka wacana kembali, bagaimana kita bisa menikmati bimbingan sang shalat sebagai guru sejati itu.

Dalam sebuah buku “Menguak Tirai Gaib” (Mizan: 1998) karya Dr. Jalaluddin Rakhmat dibahas tentang seorang yang ingin menikmati shalat. Kenikmatan yang dimaksud adalah bisa menangis saat shalat. Yang menjadi kasus cerita itu adalah kawan kang Jalal seorang purnawirawan. Ia mengaku sukar sekali menangis kalau shalat. Padahal ia sendiri jika melihat tontonan seorang anak yang disakiti, kerap timbul rasa kasihan dan bisa menangis. Namun tidak bisa saat melakukan shalat. Padahal ia sendiri ingin sekali bisa menangis dengan keras saat shalat.

Kemudian kang Jalal mengatakan pada si Bapak : “Lebih baik menangis ketika melihat penderitaan orang ketimbang menangis pada waktu shalat. Menangis pertama lebih bermanfaat ketimbang menangis yang kedua. Menangis di waktu shalat hanya menguntungkan diri Anda saja. Boleh jadi, tidak ada bekasnya sesudah itu.”

“Betul, saya pernah menyaksikan seorang dalam rombongan jamaah haji. Ketika dia shalat di Masjidil Haram, dia menangis keras. Tetapi begitu keluar dari Masjidil Haram, dia tertawa terbahak-bahak. Tidak tampak tangisan itu sesudahnya.” Tukas sang purnawirawan.

Menurut Kang Jalal, kenikmatan dalam shalat bukanlah ditandai atau diukur dengan menangis. Namun tidak salah jika menangis dalam shalat. Sebab memang dianjurkan oleh Rasulullah saw : “kalau kamu tidak bisa menangis, maka usahakan supaya kamu bisa menangis.”

Siti Aisyah bercerita. Ketika malam tiba, beliau minta izin: “Wahai Aisyah, izinkanlah aku beribadah pada Tuhanku.” Aisyah berkata: “Ya Rasulullah, aku senang jika engkau dekat denganku, namun aku juga lebih senang seandainya lebih dekat dengan Tuhanmu.” Maka segera saja tatkala Rasulullah saw takbiratul ikhram lalu membaca surat, beliau terisak-isak dalam tangisnya. Begitupula tatkala sujud. Sehingga ketika hendak masuk waktu subuh, Bilal memberitahukan bahwa sesaat lagi akan masuk waktu Subuh. Ia menyaksikan Rasulullah saw masih terisak dalam tangisnya. Bilal heran dan bertanya: “Ya Rasulllah, mengapa engkau menangis. Bukankah Allah telah mengampuni segala dosa-dosamu?” Waktu itu Rasulullah saw menjawab: “Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur?”.

Cara Nabi melakukan shalat dengan menangis lalu diikuti oleh para awliya, para sholihin. Sehingga generasi kemudian menduga bahwa shalat itu harus menangis. Sehinggalah kemudian banyak yang menciptakan susasana agar bisa menangis saat berdoa. Atau diistilahkan dengan spiritual engineering. Padahal menangis yang tulus dan tanpa rekayasa bisa tercipta dalam kondisi sendirian. Sehingga bisa saja menangis dalam kondisi berjama’ah namun dikhawatirkan itu karena suasana kebersamaan yang mempengaruhinya.

Lalu bagaimana dengan kita yang tidak bisa menangis dalam shalat. Padahal sudah jelas bahwa menangis merupakan salah satu kebiasaan Rasulullah dan generasi berikutnya. Menurut Kang Jalal, menangis dalam shalat yang dicontohkan Rasulullah saw itu hanya terdapat pada shalat sendirian utamanya shalat malam. Tetapi belum ditemukan keterangan jika dalam shalat fardu. Sebab shalat fardu biasanya disunahkan dibaca pendek-pendek suratnya. Karena di belakang kita, masih banyak orang-orang yang memiliki keperluan mendesak atau dalam kondisi tidak enak badan.

Jika shalat belum memperoleh kenikmatan, maka besar kemungkinan shalat kita belum bisa diterima Allah swt. Sebab dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang mulia bersabda: “Pada hari kiamat nanti, ada orang yang membawa shalatnya kepada Allah swt. Kemudian dia memepersembahkan shalatnya kepadaNya. Lalu shalatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian yang kumal kemudian dibantingkan ke wajahnya. Alalh tidak menerima shalatnya.” Bukan itu saja banyak pula orang yang shalat namun justeru celaka. “Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya.” (QS.107:4-5)

Pendeknya, dari uraian di atas, shalat sebagai guru sejati, hendaknya memberi dampak kenikmatan pada diri kita. Salah satu cirinya mampu membuat haru. Haru kata Iqbal, adalah tanda spiritual yang mendalam. Namun tanpa rekayasa atau dibuat-buat. Jika pun tidak bisa menangis dalam shalat, maka kenikmatan lain misalnya saat mengamalkan “shalat aktual” yaitu dengan menyantuni fakir miskin dan anak terlantar. Jika rasa religiusitas tersentuh di sana, maka Maha benarlah firman Allah swt. Dalam banyak ayat tentang perintah shalat selalu menyambung kepada keluarkan zakat. “waaqiimushalah, waatuzzakaah”. Semoga dengan shalat faktual disertai shalat aktual kita benar-benar mendapatkan pencerahan dan juga kenikmatan nasehat dari guru sejati, sang Shalat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar