Senin, 12 Januari 2009

Mewakilkan haji,sholat di pesawat dan akad nikah

1. Mewakilkan haji
Konsep “Mampu” dalam ibadah haji itu terbagi menjadi dua:
- Mampu melaksanakan ibadah haji sendiri tanpa perantara orang lain(Isthitho’ah Mubasyaroh).
- Mampu melaksanakan ibadah haji dengan cara menggantikan kepada orang lain (Isthitho’ah Bi’inaabah Al ghoir ‘Anhu)
Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori dan Imam Al Muslim
“Bahwa suatu ketika ada Seorang perempuan
dari qobilah Khosy’am bertanya kepada baginda Nabi SAW. : Wahai Rosululllah sungguh Allah telah mewajibkan kepada hamba-hambaNya untuk menunaikan ibadah haji,sedangkan aku jumpai bapakku dalam keadaan tua renta dan sudah tidak kuat untuk melakukan perjalanan ibadahhaji, apakah aku boleh menunaikan haji untuknya? Nabi menjawab: ya, boleh.
Diterangkan lebih lanjut oleh para ulama’ bahwa Isthitho’ah Bi’inaabah Al ghoir ‘Anhu diperuntukkan kepada mereka yang belum menunaikan ibadah haji hingga saat akan mengerjakannya ia jatuh sakit atau meninggal dunia.
Perlu juga dimengerti bahwa sakit yang mendapat dispensasi (boleh mewakilkan/ Inaabah haji) adalah sakit permanen (sulit untuk sembuh) seperti lumpuh,strock dll.
(Ianatuttholibin 2/318 & 323 )
2. Sholat didalam pesawat
Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan mengenai sholat dipesawat::
- Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(Qs: Al Baqoroh; 286)
- Kecanggihan alat modern seperti kompas dsb, dengan alat ini kita bisa tahu arah kiblat walaupun berada dalam pesawat atau kapal laut.
- Pesawat tidak melaju dengan satu arah, dalam hal ini Ulama’ menegaskan hendaklah ia berpindah arah sesuai arah qiblat.
- Disyaratkan dalam sujud antara dahi dan tempat sujud menempel atau sambung dengan bumi (Muttasiil ‘Alaa Al-ardhi).
Kesimpulan
Sholat didalam pesawat terbang hukumnya sah karena lihurmatil waqti Assholat Ala ghoiriha hanya saja wajib qodho’ karena sholat didalam pesawat kurang memenuhi persyaratan yaitu antara pesawat dan bumi tidak ada media yang menyambung (ini berangkat dari pendapat yang mengatakan bahwa udara bukanlah media penyambung)
(Al Majmu’ 3: 222, Attaj wa Al iklil 2: 215, Syarah Al Khorosy Ala Mukhtashor 1: 272, Haasyiyah Dasyuwy 1: 240)
3. Nikah
Kedua shighot diatas sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan karena yang terpenting dalam shighot adalah memberi pengertian nikah dan ditujukan secara jelas kepada pengantin pria dan wanita baik menggunakan kata ganti orang, isyaroh ataupun penyebutan nama.
Pemakaian kata ganti orang pertama yang disertai nama pengantin pria atau perempuan seperti yang anda contohkan itu sah sah saja selama tidak ada persepsi lain atas maksud si wali atau nai’b
Bila tidak memakai nama dapat menimbulkan persepsi lain maka wajib menyebut nama, seperti contoh sbb:
- Seseorang yang punya dua orang puteri sebut saja Laila dan Hafshoh, lalu si wali menikahkannya dengan ucapan “Aku nikahkan engkau dengan salah satu puteriku.”. Seharusnya ia mengucapkan ” Aku nikahkan engkau dengan salah satu puteriku Laila”,Karena bila tidak disebut maka akan timbul persepsi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh si wali atau na’ib
(Hasyiyah Al Jamal 4: 137, Ianatuttholibin 3: 316-318

Tidak ada komentar:

Posting Komentar