Di Buntet Pesantren bagian Barat, tepatnya di Kinandran, banyak warga Buntet menanam jati. Di mana-manapun kayu jati memang jadi primadona. Selain mahal, dipercaya sangat kuat menopang bangunan. Hingga salah satu Wali Songo pun dikubur di Gunung Jati, mungkin waktu itu gunung tersbut banyak pohon jatinya.
Atau hanya sebagai istilah saja. Tapi hebatnya kyai dulu, lain lagi. Ketika menghadapi penjajah Belanda, istilah untuk pohon jati yang tidak bagus untuk dibuat bangunan, disebut Jati Welanda… Laughing
Yang paling menarik dan menjadi tema tulisan ini adalah Shalat sebagai guru sejati. Istilah ini pernah dikemukakan oleh salah seorang Kyai Buntet. Saya ingin mencoba membuka dialog, dan mengawali tulsian tentang Fiqh. Ini berkaitan dengan permintaan teman Kang Darda. Satu lagi sebuah tausiah dari Kyai Buntet yang perlu direnungi?
Kalau saya coba renungi, kata shalat sebagai guru sejati itu mungkin berkaitan dengan persoalan masalah pembimbingan dan pengarahan kepada Yang Maha. Coba bila kita renungi, siapakah sebenarnya yang bisa mengarahkan kepadaNya? Rasa-rasanya hanya shalat satu-satunya cara. Jadi shalatlah yang bisa menuntun hidup kita. Jika merasa bahwa yang membimbing kita adalah sang shalat rasanya hidup menjadi nikmat. Alasannya boleh jadi sebagai berikut:
Pertama, Saat shalat, kita bertemu dengan Allah swt (bertemu dalam arti menghadap). Bukankah shalat adalah satu-satunya cara bertemu dengan Allah? “Inni wajajhtu wajhia lilladzii fatharassamaawati wal ard” (sungguh aku hadapkan wajahku pada Tuhan pencipta langit dan bumi… dst). Adakah cara lain, lafadz lain yang mengatur itu? Di sini berarti, shalat sebagai guru yang baik karena mengajarkan dengan kalimah yang benar dan hak.
Kedua, Shalat adalah jalan pintas menemui Allah swt. Mungkinkah mengerjakan shalat karena ingin bertemu dengan orang lain? Jadi, di sini jelas sekali visi dan arah tujuannya. Bukankah guru sejati adalah yang mampu mengarahkan anak muridnya agar menjadi selamat?
Ketiga, Dilihat dari sejarahnya, shalat merupakan hasil dari oleh-oleh pengalaman rohani saat Isra Mi’raj. Konon, Kanjeng Nabi Muhammad saw langsung bertemu Allah di Sidratul Muntaha… dan pengalaman ini diceritakan untuk umatnya. Jadi, shalat merupakan produk original yang sudah berumur ribuan tahun. Jika shalat itu produk manusia, mungkinkah bisa bertahan ribuan tahun?. Berarti, tidak ragu lagi karena produk shalat itu langsung dari Allah swt.
Keempat, Hidup paling enak diatur oleh wahyu. Jika diatur oleh pikiran barangkali yang ada hanya bingung dan terhuyung-huyung karena tidak ada pegangan. Nah karena shalat adalah produk wahyu, maka shalat adalah pegangan yang paling tepat.
Akhinya, setiap manusia yang kangen dengan Allah akan melakukan shalat berkali-kali dan yang me¬nun¬tun hidup kita langsung sang shalat. Jika ini disadari betul-betul oleh kita, pasti hidup terasa nikmat. Sebabnya karena saat kita shalat langsung bertemu dengan Allah swt. Karena jalan pintas menemui Allah adalah dengan cara itu (shalat). Begitu juga karena syareat tentang shalat dan juga sejarah shalat itu begitu jelas dari peristiwa isra-mi'raj. Maka cukuplah apa yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw itu kita ikuti dengan sebaik-baiknya.
Adapun mengenai caranya Rasulullah menyruh para sahabatnya untuk meniru saja. titik! Tidak pakai diskusi, debat, atau seminar. Jadi ternyata belajar shalat itu begitu singkat begitu gampang.
Syariat islam biasanya hanya membutuhkan praktek bukan teori atau lainya. Membaca quran tidak mesti harus mengerti artinya; shalat, tidak mesti alim dulu atau menunggu tua dulu. Begitu pula syariat yang lainnya : zakat tidak mesti menunggu kaya.
Singkatnya dari sisi syariat shalat sebagai guru kita akan ada selalu dihadapan kita dan siap selalu membimbing untuk bertemu dengan Sang Pencipta… pantas saja jika nabi kangen dengan peristiwa Isra-Mi’raj, nabi menyuruh Bilal untuk adzan. Kalau masih kangen, beliau terus menerus shalat panjang sekali. Itulah perbuatan Nabi saw telah mencontohkan begitu gamblang buat kita bahwa sahalat adalah sebuah guru sejati dan realita.
Atau hanya sebagai istilah saja. Tapi hebatnya kyai dulu, lain lagi. Ketika menghadapi penjajah Belanda, istilah untuk pohon jati yang tidak bagus untuk dibuat bangunan, disebut Jati Welanda… Laughing
Yang paling menarik dan menjadi tema tulisan ini adalah Shalat sebagai guru sejati. Istilah ini pernah dikemukakan oleh salah seorang Kyai Buntet. Saya ingin mencoba membuka dialog, dan mengawali tulsian tentang Fiqh. Ini berkaitan dengan permintaan teman Kang Darda. Satu lagi sebuah tausiah dari Kyai Buntet yang perlu direnungi?
Kalau saya coba renungi, kata shalat sebagai guru sejati itu mungkin berkaitan dengan persoalan masalah pembimbingan dan pengarahan kepada Yang Maha. Coba bila kita renungi, siapakah sebenarnya yang bisa mengarahkan kepadaNya? Rasa-rasanya hanya shalat satu-satunya cara. Jadi shalatlah yang bisa menuntun hidup kita. Jika merasa bahwa yang membimbing kita adalah sang shalat rasanya hidup menjadi nikmat. Alasannya boleh jadi sebagai berikut:
Pertama, Saat shalat, kita bertemu dengan Allah swt (bertemu dalam arti menghadap). Bukankah shalat adalah satu-satunya cara bertemu dengan Allah? “Inni wajajhtu wajhia lilladzii fatharassamaawati wal ard” (sungguh aku hadapkan wajahku pada Tuhan pencipta langit dan bumi… dst). Adakah cara lain, lafadz lain yang mengatur itu? Di sini berarti, shalat sebagai guru yang baik karena mengajarkan dengan kalimah yang benar dan hak.
Kedua, Shalat adalah jalan pintas menemui Allah swt. Mungkinkah mengerjakan shalat karena ingin bertemu dengan orang lain? Jadi, di sini jelas sekali visi dan arah tujuannya. Bukankah guru sejati adalah yang mampu mengarahkan anak muridnya agar menjadi selamat?
Ketiga, Dilihat dari sejarahnya, shalat merupakan hasil dari oleh-oleh pengalaman rohani saat Isra Mi’raj. Konon, Kanjeng Nabi Muhammad saw langsung bertemu Allah di Sidratul Muntaha… dan pengalaman ini diceritakan untuk umatnya. Jadi, shalat merupakan produk original yang sudah berumur ribuan tahun. Jika shalat itu produk manusia, mungkinkah bisa bertahan ribuan tahun?. Berarti, tidak ragu lagi karena produk shalat itu langsung dari Allah swt.
Keempat, Hidup paling enak diatur oleh wahyu. Jika diatur oleh pikiran barangkali yang ada hanya bingung dan terhuyung-huyung karena tidak ada pegangan. Nah karena shalat adalah produk wahyu, maka shalat adalah pegangan yang paling tepat.
Akhinya, setiap manusia yang kangen dengan Allah akan melakukan shalat berkali-kali dan yang me¬nun¬tun hidup kita langsung sang shalat. Jika ini disadari betul-betul oleh kita, pasti hidup terasa nikmat. Sebabnya karena saat kita shalat langsung bertemu dengan Allah swt. Karena jalan pintas menemui Allah adalah dengan cara itu (shalat). Begitu juga karena syareat tentang shalat dan juga sejarah shalat itu begitu jelas dari peristiwa isra-mi'raj. Maka cukuplah apa yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw itu kita ikuti dengan sebaik-baiknya.
Adapun mengenai caranya Rasulullah menyruh para sahabatnya untuk meniru saja. titik! Tidak pakai diskusi, debat, atau seminar. Jadi ternyata belajar shalat itu begitu singkat begitu gampang.
Syariat islam biasanya hanya membutuhkan praktek bukan teori atau lainya. Membaca quran tidak mesti harus mengerti artinya; shalat, tidak mesti alim dulu atau menunggu tua dulu. Begitu pula syariat yang lainnya : zakat tidak mesti menunggu kaya.
Singkatnya dari sisi syariat shalat sebagai guru kita akan ada selalu dihadapan kita dan siap selalu membimbing untuk bertemu dengan Sang Pencipta… pantas saja jika nabi kangen dengan peristiwa Isra-Mi’raj, nabi menyuruh Bilal untuk adzan. Kalau masih kangen, beliau terus menerus shalat panjang sekali. Itulah perbuatan Nabi saw telah mencontohkan begitu gamblang buat kita bahwa sahalat adalah sebuah guru sejati dan realita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar